5 Mar 2015

Shalat Istikharah

Shalat Istikharah adalah shalat sunnat yang dikerjakan untuk meminta petunjuk Allah oleh mereka yang berada di antara beberapa pilihan dan merasa ragu-ragu untuk memilih atau saat akan memutuskan sesuatu hal. Spektrum masalah dalam hal ini tidak dibatasi. Seseorang dapat salat istikharah untuk menentukan dimana ia kuliah, siapa yang lebih cocok menjadi jodohnya atau perusahaan mana yang lebih baik ia pilih. Setelah salat istikharah, maka dengan izin Allah pelaku akan diberi kemantapan hati dalam memilih.
Diriwayatkn oleh AL-Bukhari dan Al-Turmudzi, serta An-Nasa’I dari hadits Jabir RA berkata: Nabi Muhammad SAW mengajarkan kami agar beristikharah pada setiap perkara, sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami satu surat dari Al-Qur’an, dan beliau bersabda, “Apabila seseorang di antara kamu mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunah (Istikharah) dua rakaat, kemudian bacalah doa ini:


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمَّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada -Mu dengan ilmu pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaan -Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kemahakuasaan -Mu. Aku mohon kepada -Mu sesuatu dari anugerah -Mu Yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Maha kuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendak-nya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku atau Nabi bersabda: …di dunia atau akhirat sukseskanlah untukku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama, harta dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkan persoalan tersebut, dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaan -Mu kepadaku.”
Ibnu Abi Hamzah berkata: Hikmah didahulukannya doa diatas di dalam shalat istikharah adalah untuk mewujudkan dua tujuan, yaitu mengumpulkan antara kebaikan dunia dan akherat, hal itu dibutuhkan agar seseorang mengetuk pintu Zat Yang Menjadi Raja, dan tidak ada sesuatu apapun yang lebih manjur dan lebih mendatangkan keberhasilan daripada shalat, sebab di dalam shalat tersebut ada unsur mengagungkan Allah SWT, memuji Allah SWT dan butuh kepada -Nya baik pada waktu sekarang atau yang akan datang”.

Sebagian ahlul ilmi mengatakan bahwa dibolehkan mengulang istikharah dalam satu perkara, dan di antara ulama yang membolehkan hal itu adalah Al-Hafiz Al-Iroqi, dan pendapatnya diikuti oleh AsL-Syaukani di dalam kitab Nailul Authar. Dan dia berkata: Dasar diperbolehkannya mengulang istikharah adalah apabila Nabi Muhammad SAW berdo’a maka beliau mengulanginya tiga kali. Hadits shahih. Maksud hadits ini adalah pengulangan do’a di dalam satu kesempatan. Sesungguhnya do’a yang sunnah dikerjakan bersama shalat maka shalatnya pun disunnahkan untuk diualng-ulangi bersamanya”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak akan menyesal orang yang beristikharah kepada Allah Yang Maha Pencipta dan bermusyawarah dengan makhluk serta teguh dalam pendiriannya. Allah SWT berfirman:


وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ

“…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah”. (QS. Ali Imron: 159)

Qotadah rohimahullah berkata, “Tidaklah suatu kaum bermusyawarah dan mereka mengharap wajah Allah SWT kecuali mereka akan ditunjukkan kepada jalan yang lebih lurus dalam perkara mereka”.
Syaikh Kamaluddin Muhammad bin Ali Al-Zamalkani berkata, “Apabila seseorang telah melakukan shalat dua rekaat maka hendaklah setelah itu dia bertawakkal, dan berlapang dada atas apa yang menjadi ketentuan-Nya, sebab di dalamnya terdapat kebaikan sekalipun jiwanya tidak tenang dengannya. Kemudian dia melanjutkan: Di dalam hadits ini tidak ada sebuah isyarat yang menunjukkan bahwa adanya perasaan lapang dada sebagai syarat (memilih).

Hal yang Perlu diperhatikan adalah istikharah dilakukan pada saat seseorang ingin melakukan sebuah perkara, baik dia ragu-ragu padanya atau sudah bertekad melakukan perkara tersebut, bukan seperti apa yang diprasangka oleh sebagian orang bahwa istikharah itu dilakukan pada saat seseorang ragu dalam memasuki sebuah perkara. Sebab istikharah itu artinya meminta agar diberikan taufiq, sementara tidak seorangpun yang mengetahui bagaimana hasil sebuah usaha kecuali Allah SWT. Banyak perkara yang diprasangka oleh seseorang yang beristikharah bahwa dia akan memperoleh kebaikan pada suatu perkara dan ternyata dia bisa, dan banyak perkara yang disangka oleh seseorang bahwa dia mendapat keburukan pada suatu perkara namun justru keselamatannya ada pada perkara itu. Cukuplah bagi kita firman Allah SWT:


وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
(QS. Al-Baqarah: 216).

Di antara manfaat berisitkharah adalah:

Pertama: Sebagai bukti bergantungnya seorang hamba kepada Allah Azza Wa Jalla, dan kepasrahan dirinya pada segala urusannya. Allah SWT berfirman:


قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. Al-Taubah: 51)

Allah SWT berfirman:

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. (QS. Al-Syu’ara’: 217-219)

Kedua: Istikharah menambah pahala seseorang dan taqarrubnya kepada Allah SWT, sebab istihkarah mengandung shalat dan do’a. Di dalam sebuah hadits disebutkan: Aku bertanya: Apakah shalat itu wahai Rasulullah?. Beliau menjawab: “Sarana pengaduan yang paling baik”.

Ketiga: Istikharah sebagai jalan keluar dari segala kebingungan dan keraguan. Dia sebagai sebab bagi datangnya ketenteraman dan ketenangan pikiran, sebab dengan istikharah berarti dia menyerahkan urusannya kepada Allah SWT yang menguasai segala urusan. Allah SWT berfirman:

 قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ لِلهِ

Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah".( QS. Ali Imron: 154)

Keempat: Dengan istikharah seseorang akan menadapatkan kebaikan dan terjaga dari yang buruk, sebab apa yang pilihkan oleh Allah SWT bagi hamba -Nya lebih baik dari apa yang dipilih oleh seorang hamba untuk dirinya sendiri, sebab Allah SWT lebih mengetahui tentang kemaslahatan hamba -Nya, Dia Yang Maha Mengetahui tentang perkara-perkara gaib.

Kelima: Dengan beristikharah seseorang akan mendapat keberkahan pada perkara yang akan dijalaninya, dan keberkahan itu tidak mencampuri suatu yang sedikit kecuali dia akan menjadi lebih banyak, dan tidak terdapat pada suatu yang banyak kecuali dia akan bermanfaat, sebagaimana disebutkan di dalam hadits tentang istikharah di atas:

وبارك لي فيه

“dan berikanlah keberkahan bagiku padanya”.

Keenam: Terkadang seseoarang meremehkan suatu perkara karena dianggapnya kecil, padahal mengerjakan atau meninggalkannya akan mendatangkan kemudharatan yang besar, oleh karena itulah istikharah disyari’atkan pada segala perkara.

Shalat Taubat

Dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا، ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّر – وفي رواية: فيحسن الوضوء – ، ثُمَّ يُصَلِّى – وفي رواية: ركعتين –، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّه؛َ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ»، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ {وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Tidaklah seorang (muslim) melakukan suatu perbuatan dosa, lalu dia bersuci – dalam riwayat lain: berwudhu dengan baik –, kemudian melaksanakan shalat – dalam riwayat lain: dua rakaat –, lalu meminta ampun kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuni (dosa)nya”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini (yang artinya), “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah, dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui” (QS. Ali ‘Imraan:135).”
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan shalat dua rakaat ketika seorang bertaubat dari perbuatan dosa dan janji pengampunan dosa dari Allah Ta’ala bagi yang melakukan shalat tersebut.
Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadits ini:
– Agungnya rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, karena Dia mensyariatkan bagi mereka cara untuk membersihkan diri dari buruknya perbuatan dosa yang telah mereka lakukan.
– Wajib bagi seorang muslim untuk selalu bertakwa kepada Allah Ta’ala, merasakan pengawasan-Nya, dan berusaha untuk menghindari perbuatan maksiat semaksimal mungkin. Kalau dia terjerumus ke dalam dosa maka hendaknya dia segera bertaubat dan kembali kepada Allah, agar Dia mengampuni dosanya, sebagaimana janji-Nya dalam firman-Nya:
{إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ، وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا}
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS an-Nisaa’:17).
– Yang dimaksud dengan “meminta ampun kepada Allah” dalam hadits ini adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh yang disertai sikap penyesalan atas perbuatan tersebut, menjauhkan diri dari dosa tersebut dengan meninggalkan sebab-sebabnya, serta tekad yang bulat untuk tidak mengulanginya selamanya, dan jika dosa tersebut berhubungan dengan hak orang lain maka segera dia menyelesaikannya
– Imam Ibnu Hajar berkata, “Meminta ampun kepada Allah (hanya) dengan lisan, tapi masih tetap mengerjakan dosa (dengan anggota badan) adalah seperti bermain-main (dalam bertaubat)
– Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya orang yang beriman memandang dosanya seperti dia sedang berada di bawah sebuah gunung (besar) yang dia takut gunung tersebut akan menimpa (dan membinasakan)nya, sedangkan orang yang fajir (rusak imannya) memandang dosanya seperti seekor lalat yang lewat di (depan) hidungnya kemudian dihalaunya dengan tangannya (dinggapnya remeh dan kecil)”

source: www.muslim.or.id

Shalat TAhiyatul masjid

Shalat tahiyatul masjid disyariatkan pada setiap saat, ketika seseorang masuk masjid dan bermaksud duduk di dalamnya. Ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i & Ahmad bin Hambal, yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, & Ibnu Al-Utsaimin –rahimahumullah.
Dalam hadis yang diriwayatkanoleh Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk.” (HR. Al-Bukhari no. 537 & Muslim no. 714)
Jabir bin Abdillah -radhiyallahu anhu- berkata,
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ, فَجَلَسَ. فَقَالَ لَهُ: يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا! ثُمَّ قَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
Artinya,“Sulaik Al-Ghathafani datang pada hari Jum’at, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah, dia pun duduk. Maka beliau langsung bertanya padanya, “Wahai Sulaik, bangun dan shalatlah dua raka’at, kerjakanlah dengan ringan.” Kemudian beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jum’at, sedangkan imam sedang berkhutbah, maka hendaklah dia shalat dua raka’at, dan hendaknya dia mengerjakannya dengan ringan.” (HR. Al-Bukhari no. 49 dan Muslim no. 875)
Para ulama sepakat tentang disyariatkannya shalat 2 rakaat bagi siapa saja yang masuk masjid & mau duduk di dalamnya. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai hukumnya. Mayoritas ulama berpendapat shalat Tahiyatul Masjid adalah sunnah & sebagian berpendapat wajib. Yang jelas tidak sepantasnya seorang muslim meninggalkan syariat ini.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat tahiyatul masjid adalah sunnah karena ada indikasi lain yang menyoal pada status hukum sunnah dan tidak wajib. Di antaranya,
Pertama, hadis Abdullah bin Busr,
حديث أبي داود والنسائي: أن رجلاً تخطى رقاب الناس والنبي صلى الله عليه وسلم يخطب فقال له: أجلس فقد آذيت
Artinya,“Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang melangkahi pundak-pundak manusia sedangkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkhutbah, maka beliau berkata, “Duduklah, sungguh engkau telah menyakiti mereka.” (Shahih, HR Abu Dawud (1118), di shahihkan oleh Syeikh Al-Albani)
Kedua, hadis Thalhah bin Ubaidullah radhiyallahu Anhu, beliau berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرُ الرَّأْسِ نَسْمَعُ دَوِيَّ صَوْتِهِ وَلَا نَفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ
Artinya, “Seorang laki-laki dari penduduk Nejd yang rambutnya berdiri datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kami mendengar gumaman suaranya, namun kami tidak dapat memahami sesuatu yang dia ucapkan hingga dia dekat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ternyata dia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,‘Islam adalah shalat lima waktu siang dan malam.‘ Dia bertanya lagi, ‘Apakah saya masih mempunyai kewajiban selain-Nya? ‘ Beliau menjawab, ‘Tidak, kecuali kamu melakukan shalat sunnah. (HR. Bukhari (46), Muslim (11/76))
Ketiga, hadis AbuWaqid Al Laitsi radhiyallahu Anhu, beliau berkata,
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ وَالنَّاسُ مَعَهُ إِذْ أَقْبَلَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَ وَاحِدٌ قَالَ فَوَقَفَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلْقَةِ فَجَلَسَ فِيهَا وَأَمَّا الْآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ النَّفَرِ الثَّلَاثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ
Artinya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sedang duduk bermajelis di Masjid bersama para sahabat datanglah tiga orang. Yang dua orang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang seorang lagi pergi, yang dua orang terus duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dimana satu diantaranya nampak berbahagia bermajelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (di depan), sedang yang kedua duduk di belakang mereka, sedang yang ketiga berbalik pergi, Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai bermajelis, Beliau bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang ketiga orang tadi?”Adapun salah seorang diantara mereka, dia meminta perlindungan kepada Allah, maka Allah lindungi dia. Yang kedua, dia malu kepada Allah, maka Allah pun malu kepadanya. Sedangkan yang ketiga berpaling dari Allah maka Allah pun berpaling darinya.”(HR. Bukhari (66) Muslim (2176))

Pengertian Shalat Tahiyatul Masjid

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tahiyyatul Masjid adalah shalat yang dilakukan sebanyak dua Roka’at, dan dikerjakan oleh seseorang ketika masuk ke masjid. Adapun hukumnya termasuk sunnah berdasarkan konsensus karena hal itu merupakan hak setiap orang yang akan masuk ke masjid, sebagaimana dalil-dalil yang telah disebutkan.” (Fathul Bari: 2/407)

Siapa Yang Dikecualikan Untuk Tidak Mengerjakan Shalat Tahiyatul Masjid?

Ibnu Hajar juga berkata, “Dikecualikan bagi khotib masjid, yang akan masuk ke masjid untuk shalat, dan berkhutbah di hari jum’at, maka seorang khotib tidak perlu melakukan shalat Tahiyatul Masjid. Dikecualikan juga bagi pengurus masjid, karena ia diberi amanah untuk senantiasa keluar masuk masjid, jika setiap keluar masuk di perintahkan untuk shalat tahiyatul masjid, tentu hal itu akan memberatkan baginya. Sebagaimana pula tidak disunnahkan bagi seseorang yang masuk ke masjid sedangkan imam telah menegakkan shalat fardhu atau telah selesai dikumandangkan iqamat, karena sesungguhnya shalat fardhu telah cukup walaupun tidak shalat tahiyatul Masjid.” (Subulus Salam: 1’/320)
Namun sebagian Ulama’ berpendapat disunnahkan melakukan tahiyatul Masjid setiap kali masuk ke Masjid. Hal ini sebagaimana pendapat imam Nawawi, dan ini pendapat yang dipilih oleh ibnu Taimiyyah, dan Ahmad bin Hambal. (Al-Majmu’: 4/75)
Imam Syaukani rahimahullah berpendapat, “Bahwa shalat Tahiyatul Masjid disyari’atkan, meskipun berkali-kali masuk ke masjid, sebagaimana secara ekplisit dinyatakan dalam hadits. (Nailul Authar: 3/70)
Tahiyatul masjid tergolong sebagai penghormatan terhadap masjid. Hal itu sepadan dengan ungkapan salam ketika masuk ke suatu tempat, sebagaimana seorang yang memberi salam kepada sahabatnya ketika bertemu.
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sebagian yang lain mengilustrasikan dengan memberi salam kepada pemilik masjid (Allah subhanahu wata’ala). Karena maksud dilakukannya tahiyatul masjid adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan kepada masjid, sebab seseorang yang masuk ke rumah orang lain, yang diberi salam adalah pemiliknya bukan rumahnya. (Hasyiyah Ibnul Qasim: 2/252)

Beberapa Masalah/Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat Tahiyatul Masjid

Masalah Pertama:
Disyari’atkannya untuk shalat Tahiyatul Masjid di setiap waktu (tidak ada waktu yang terlarang), karena ia termasuk shalat yang berkaitan dengan sebab (yaitu karena masuk ke masjid). Inilah pendapat yang dipilih oleh Syeikhul islam ibnu Thaimiyyah, majduddin Abul Barakat, Ibnul Jauzi, dan yang lain. (Al-inshof : 2/802, Al-Muharrar : 1/86, Nailul Authar : 3/62, Fatawa li ibni Thaimiyyah : 23/219)
Pendapat ini juga dipilih oleh Syeikh Muhammad bin Utsaimin (Syarah Mumthi’ ” (4/179)) dan juga Syeikh Ibnu Baz dalam kitab fatawa.
Masalahan Kedua:
Waktu/pelaksanaan shalat Tahiyatul Masjid adalah ketika masuk ke masjid dan sebelum duduk. Adapun jika ia sengaja duduk, maka tidak di syari’atkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid. Hal itu dikarenakan telah kehilangan kesempatan (yaitu ketika masuk masjid dan sebelum duduk). (Ahkam Tahiyatul Masjid, 5)
Masalah Ketiga:
Adapun jikalau ia masuk masjid dan langsung duduk karena tidak tahu atau lupa dan belum mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, maka ia tetap disyari’atkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid, karena orang yang diberi uzur (karena lupa atau tidak tahu) tidak hilang kesempatan untuk megerjakan shalat tahiyatul masjid, dengan syarat jarak antara duduk dengan waktunya tidak terlalu lama. (Fathul Bari, 2/408)
Masalah Keempat:
Apabila ada orang yang masuk ke Masjid sedangkan azan dikumandangkan, maka yang sesuai syari’at adalah menjawab adzan dan menunda sebentar untuk shalat Tahiyatul Masjid, karena saat itu menjawab adzan lebih penting. Kecuali kalau ia masuk ke masjid pada hari jum’at, sedangkan adzan untuk khutbah tengah dikumandangkan, maka dalam kondisi seperti ini mendahulukan shalat tahiyatul masjid daripada menjawab azan (agar bisa mendengarkan khutbah). Karena mendengarkan khutbah lebih penting.” (Al-Inshaf, 1/427)
Masalah Kelima:
Apabila ada orang yang masuk ke masjid sedangkan imam saat itu sedang berkhutbah, maka tetap disunnahkan untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, dan hendaknya meringankannya/mempercepatnya (Al-Fatawa li Ibni Taimiyyah, 23/219). Hal ini sebagaimana dalam hadits Nabi, “Maka janganlah ia duduk kecuali telah mengerjakan dua raka’at” (HR Bukhari (1163) dan Muslim (714)). Begitu pula dalam hadits yang lain,´“Hendaklah ia kerjakan dua raka’at, dan hendaklah meringankanya.” (HR Bukhari (931), Muslim (875)). Jika seorang khatib hampir selesai khutbah, dan menurut dugaan kuat jika ia mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid akan ketinggalan shalat wajib (shalat jum’at), maka hendaknya ia berdiri untuk mengerjakan shalat jum’at, dan setelah selesai shalat Jumat hendaknya ia jangan sampai langsung duduk tanpa mengerjakan shalat tahiyatul masjid.
Masalah Keenam:
Penghormatan di Masjidil Haram adalah Thawaf, hal ini sebagaimana dikemukakan Jumhur Fuqaha’. Imam Nawawi berkata, “Shalat Tahiyyatul Masjidil untuk Masjidil Haram adalah Thawaf, yang dikhususkan bagi pendatang. Adapun orang yang Muqim/menetap disitu maka hukumnya sama seperti masjid-masjid yang lain (yaitu disunnahkan shalat Tahiyatul Masjid)” (Fathul Bari: 2/412)
Namun sebagai catatan, hadits yang dijadikan rujukan dalam masalah ini adalah hadits yang tidak shahih/benar. Bahkan tidak ada asalnya dari Nabi. Lafaz hadits tersebut adalah:
تحية البيت الطواف
Tahiyat bagi Al-Bait (Ka’bah) adalah thawaf,” (Lihat Adh-Dhaifah no. 1012 karya Al-Albani -rahimahullah-),
Jadi kesimpulannya shalat Tahiyatul Masjid berlaku untuk semua masjid, termasuk masjidil haram. Sehingga orang yang masuk masjidil haram tetap dianjurkan baginya untuk melakukan tahiyatul masjid jika dia ingin duduk.
Masalah Ketujuh:
Shalat qabliyah dapat menggantikan tahiyatul masjid, karena maksud dari shalat tahiyatul masjid adalah agar orang yang masuk masjid memulai dengan shalat, sedangkan ia telah melaksanakan shalat sunnah rawatib. Jika ia berniat shalat sunnah rawatib sekaligus shalat tahiyatul masjid atau berniat shalat fardhu maka ia telah mendapat pahala secara bersamaan. (Kasyful Qana’: 1/423)
Masalah Kedelapan:
Adapun seorang imam, maka cukup baginya untuk mendirikan shalat fardhu tanpa shalat Tahiyatul Masjid. Hal itu dikarenakan imam datang di akhir dan kedatangannya dijadikan sebagai tanda untuk mengumandangkan iqamat. (Subulus Salam: 1329)
Adapun jikalau imam telah datang sejak awal waktu, maka tetap disyari’atkan bagi imam untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, sebagaimana makmum. Hal itu sebagaimana keumuman dalil, “Jika salah seorang dari kalian masuk ke Masjid, maka janganlah duduk sehingga ia shalat dua raka’at terlebih dahulu.” (HR Bukhari (444), Muslim (764))
Mengenai shalat di tanah lapang (seperti shalat ied, istisqa’), maka tidak disyari’atkan untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, (Al-Fawakihul Adidah : 1/99)
Namun sebagian ulama’ ada yang membolehkan shalat tahiyatul Masjid di tanah lapang karena di tinjau dari segi hukumnya sama seperti shalat berjama’ah di dalam masjid. (Al-inshaf: 1/246). Namun yang lebih rajih insya Allah pendapat yang pertama, karena berbeda dari sisi tempatnya dan juga dzahirnya hadits : “Jika salah seorang dari kalian masuk ke Masjid…. (HR Bukhari dan Muslim)
Masalah Kesembilan:
Tidak dipungkiri bahwa shalat tahiyatul masjid berlaku utk siapa saja, laki-laki & perempuan yang hendak melakukan shalat berjama’ah di masjid. Hanya saja para ulama mengecualikan darinya khatib Jum’at, dimana tak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Nabi –shallallahu Alaihi wassalam- shalat tahiyatul masjid sebelum beliau khutbah. Akan tetapi beliau datang & langsung naik ke mimbar (Al-Majmu’: 4/448).
Hikmah dari Shalat Tahiyatul Masjid
Hikmah dari mengerjakan Shalat Tahiyatul Masjid adalah sebagai penghormatan terhadap Masjid, sebagaimana seseorang masuk ke rumahnya dengan mengawali ucapan salam, dan juga sebagaimana seseorang yang mengucapkan salam kepada sahabatnya disaat keduanya bertemu.
Semoga Allah memberi pertolongan kepada kita agar kita senantiasa dimudahkan dalam memahami agama Islam yang benar, dan dimudahkan dalam mengamalkannya dan mendakwahkannya.

Shalat Rawatib

Shalat-Sunah-Rawatib
Shalat Sunah Rawatib adalah shalat sunah yang menyertai shalat fardhu, baik dikerjakan sebelum atau sesudahnya. Shalat sunah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat fardhu disebut shalat sunah rawatib qabliyah. Shalat sunah rawatib yang dikerjakan sesudah shalat fardhu disebut shalat sunah rawatib badiyah. Fungsi shalat sunah rawatib adalah untuk melengkapi kekurangan yang tidak disengaja yang mungkin terjadi dalam shalat fardhu juga karena dalam shalat-shalat sunah itu mengandung keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah-ibadah lain. Keutamaan shalat  rawatib tersebut dalam hadist Nabi Muhammad SAW : “Barang siapa shalat sehari semalam dua belas rakaat selain shalat fardhu maka akan didirikan satu rumah di surga”. (H.R. At Tirmidzi)
Shalat sunah rawatib dilaksanakan dalam waktu sesudah masuk  waktu untuk shalat fardhu. Pelaksanaan shalat sunah rawatib dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
a.       Shalat Sunah Rawatib Muakad
-          Dua rakaat sebelum shalat shubuh disebut shalat fajar. Rasulullah SAW bersabda : Dari Aisyah bahwasanya Nabi Muhammad SAW telah bersabda “Dua rakaat fajar (shalat sunah yang dikerjakan sebelum shalat shubuh itu lebih baik dari dunia dan segala isinya)”. (H.R. Muslim).
-          Dua rakaat sebelum Shalat Dzuhur
-          Dua rakaat sesudah Shalat Dzuhur
-          Dua rakaat sesudah Shalat Maghrib
-          Dua rakaat sesudah Shalat Isya. Sabda Rasulullah SAW : Dari Abdullah bin Umar berkata : “Saya ingat (hafal) mengenai Rasulullah SAW (mengerjakan shalat) dua rakaat sebelum dzuhur, dua rakaat sesudah dzuhur, dua rakaat sesudah maghrib dan dua rakaat sesudah isya, dan dua rakaat sebelum shubuh”. (H.R. Bukhari).
b.      Shalat Sunah Rawatib Gairu Muakad
-          Dua rakaat sebelum dan sesudah shalat dzuhur
-          Empat rakaat sebelum shalat azhar. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : Dari Ibnu Umar, Nabi Muhammad SAW beliau bersabda : “Allah memberi rahmat akan manusia yang shalat empat rakaat sebelum shalat azhar”. (H.R. Tirmidzi).
-          Dua rakaat sebelum Shalat Maghrib.
Pada hakikatnya mempraktikkan shalat sunah rawatib sama dengan mempratikkan shalat wajib baik dari segi bacaan maupun gerakan, yang membedakan hanyalah niatnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mempratikkan shalat sunah rawatib adalah sebagai berikut : Tidak didahului adzan dan ikamah, Dikerjakan secara munfarid atau sendirian, Bacaannya tidak dinyaringkan, Dilaksanakan dua rakaat salam, Sebaiknya pindah tempat dari tempat shalat fardhu, Bacaan surat pada masing-masing rakaat diutamakan surat Al-Kafiruun dan Al-Ikhlas, Diawali dengan niat menurut macam shalatnya, niat qabliyah untuk shalat sebelum shalat fardhu dan niat bakdiyah setelah shalat fardhu.
Keutamaan Shalat Sunah Rawatib
Jika kita sering melakukan shalat sunah secara rutin baik qabliyah maupun badiyah, kita akan mendapat banyak keutamaan dan fadilah dari Allah SWT. Keutamaan shalat Sunah Rawatib antara lain :
1)Sebagai penyempurna shalat fardhu
2) Memperbanyak ibadah baik yang wajib maupun yang sunah
3)Doa kita akan dikabulkan oleh Allah SWT
4)Menambah ketakwaan, keimanan, serta kekhusyukan dalam beribadah
5)Semua amal kebaikannya diterima Allah SWT
6)Dijauhkan dari siksa api neraka
7)Dilapangkan rezekinya
8)Dapat menghindari diri dari sifat malas.

shalat sunnah istisqa

Apa shalat sunah istisqa ? shalat sunah istisqa yakni shalat untuk memohon hujan dari Allah SWT. Shalat sunah istisqa itu hukumnya adalah sunah bagi orang yang muqim (menetap), dan juga bagi orang yang bepergian ketika membutuhkan, sebab terputusnya hujan atau terputusnya sumber air, dan sebagainya.

Shalat sunah istisqa itu bolehdiulang kembali untuk yang kedua kalinya dan lebih banyak lagi dari yang sudah dilaksanakan, jika mereka belum dikaruniai hujan hingga Allah mengaruniai mereka hujan.

Maka bagi imam dan orang yang sepadan dengannya, sunah memerintahkan kepada mereka supaya bertaubat, dan bagi mereka harus taat mengikuti perintahnya, sebagaimana yang telah difatwahkan oleh Imam Nawawi. Dan sebenarnya bertaubat dari dosa itu hukumnya wajib, baik imam perintah kepada mereka untuk bertaubat atau tidak ada suatu keharusan bagi mereka.

Serta memerintahkan pula kepada mereka untuk bersedekah dan keluar untuk menghentikan diri dari berbagai perbuatan lalim atau durhaka kepada sesama hamba (manusia), dan supaya berdamai (bersikap baik) terhadap musuh-musuhnya, dan berpuasa selama tiga hari sebelum tibanya hari ketentuan untuk keluar rumah menuju arena shalat. Jai termasuk dengan saat hari keluar itu (saat tanggal main), puasa yang dilaksanakan adalah 4 hari.
Kemudian pada hari yang keempat itulah, imam beserta mereka atau anggota jama’ah keluar dalam keadaan berpuasa, tidak memakai wangi-wangian dan tidak pula berdandan. Tetapi mereka hendaklah keluar dalam keadaan pakaian yang biasa dipakai sehari-hari, yakni pakaian yang biasa dipakai waktu bekerja (baju gelangsaran dalam bahasa jawa).

Disertai pula bersikap khusyu’, tunduk merendahkan diri dan merasa hina. Dan hendaknya mereka keluar bersama-sama dengan anak-anak kecil, orang-orang yang sudah tua dan juga orang-orang yang sudah sangat tuannya (sudah rentah), dan juga bersama-sama binatang peliharaannya.

Dan shalatlah imam atau penggantinya tadi bersama-sama mereka (anggota jama’ah), sebanyak 2 rakaat sebagaimana layaknya shalat 2 hari raya.

Tata Cara Shalat sunah Istisqa

Tata cara shalat sunah istisqa yaitu seperti membaca do’a iftitah, membaca do’a ta’awwudz dan bertakbir 7 kali di dalam rakaat yang pertama, dan bertakbir 5 kali di dalam rakaat yang kedua disertai dengan mengangkat kedua tangannya.

Kemudian imam di sunahkan berkhutbah sebanyak dua kali, sebagaimana layaknya dua khutbah dua hari raya, di dalam hal rukun-rukun dan lainnya. Tetapi imam hendaklah memohon ampunan kepada Allah SWT dari segala dosa di dalam kedua khutbahnya. Sebagai gantinya takbir yang terdapat dipermulaan dua khutbahnya, di dalam dua khutbah dua hari raya. Oleh karena itu, hendaklah imam memulai khutbahnya yang pertama dengan membaca istighfar sebanyak 9 kali. Sedangkan khutbah yang kedua membaca istighfar sebanyak 7 kali.

Bentuk lafadz ucapan istighfar itu adalah:
“Astaghfirullaahal ‘Azhiim, Al-ladzi Laa ilaahaillahuwal hayyul qayyum waatuubu ilaihi.”
Artinya: “Aku memohon ampunan (dari segala dosa) kepada Allah yang Maha Agung, yang Tiada Tuhan yang hendak disembah melainkan Dia, yang Maha Hidup lagi Mmaha Berdiri sendiri. Dan kepada-Nya lah aku bertaubat.”

Dua khutbah tadi dilaksanakan setelah shalat dua rakaat. Dan hendaklah seorang khatib memindahkan selendangnya, maka ia hendaklah menjadikan selendang bagian kanan ke tempat selendang bagian kiri. Dan bagian atas selendang dijadikan ke tempat bagian bawah selendang. Dan demikian pula orang-orang yang lain, mereka hendaklah memindah selendang-selendang mereka seperti seorang khatib tadi memindah selendangnya.

Imam yang berkhutbah tadi, hendaklah memperbanyak berdo’a dengan suara pelan dan sesekali dengan nada suara yang keras. Maka sekiranya soerang khatib tadi merendahkan suaranya, para jama’ah pun hendaklah mengikuti merendahkan suaranya dengan berdo’a. Dan sekiranya khatib mengeraskan suaranya, maka hendaknya mereka menyambut dengan membaca “amin” atas do’anya khatib tersebut.

Dan khatib tersebut hendaknya memperbanyak membaca istighfar dan membaca firman Allah yang berbunyi:
“Istaghfiruu Rabbakum Innahu Kaana Ghaffaara,Yursilis samaa’a ‘alaikum midraara.”
Artinya: “Memohon ampunlah kamu semua kepada Tuhanmu, Dia-lah sesungguhnya yang Maha Pengampun yang menurunkan hujan dari langit untuk kamu semua dengan hujan yang deras.”

Dan hendaklah bersama-sama mandi di lembah, ketika air hujan itu sudah mengalir. Dan hendaklah membaca tasbih karena ada bunyi petir dan kilat.

shalat sunnah kusuf dan khusuf

Kusuf/Khusuf ialah istilah yang diberikan untuk shalat sunnah di waktu terjadi gerhana matahari maupun gerhana bulan.

Shalat Sunah Kusuf Shalat Khusuf

Bilangan rekaat / Cara Pelaksanaannya :
  • Shalat kusuf/khusuf ini utamanya dilaksanakan di masjid secara berjama'ah dan dengan khutbah sesudah shalat.
  • Shalat gerhana itu tanpa adzan dan iqamah; tetapi hanya panggilan, misalnya "Ash-Sholaatu Jaami'ah" (Mari kita berkumpul untuk shalat)
  • Shalat sunnah ini dikerjakan sebanyak 2 rekaat dengan bacaan jahr.
Pada Tiap-tiap rekaat mengandung 2 ruku' dan 2 sujud dengan cara sebagai berikut :
  1. Takbiratul Ihram,
  2. Membaca doa iftitah,
  3. Membaca ta'awudz,
  4. Membaca Basmalah,
  5. Membaca Al-Fatihah,
  6. Membaca Amin,
  7. Membaca Surat/Ayat Al-Qur'an,
  8. Ruku' dan membaca tasbih ruku',
  9. I'tidal (berdiri tegak kembali),
  10. Membaca Surat/Ayat Al-Qur'an (tangan bersedekap seperti semula),
  11. Ruku' dan membaca tasbih ruku',
  12. I'tidal (berdiri tegak kembali),
  13. Sujud dan membaca tasbih sujud,
  14. Duduk antara dua sujud,
  15. Sujud kedua. Kemudian berdiri untuk rekaat yang kedua. Pada rekaat kedua dikerjakan seperti rekaat yang pertama tadi, (mulai dari urutan nomor 4, dan seterusnya),
  16. Duduk Attahiyat dengan membaca tasyahud dan shalawat,
  17. Salam. 
Kemudian tenang untuk mendengarkan khutbah.

Keterangan :
Untuk nomor 10 ini ada 2 pendapat :
  • Pertama, hanya membaca surat/ ayat Al-Qur’an saja.
  • Kedua, membaca Al-Fatihah dan surat/ ayat Al-Qur’an.
Dalil Pelaksanaannya :

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيّ ص قَالَتْ: خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى حَيَاةِ رَسُوْلِ اللهِ ص، فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِلىَ اْلمَسْجِدِ فَقَامَ وَ كَبَّرَ وَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ. فَاقْتَرَأَ رَسُوْلُ اللهِ ص قِرَاءَةً طَوِيْلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوْعًا طَوِيْلاً. ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَ لَكَ اْلحَمْدُ. ثُمَّ قَامَ فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيْلَةً. هِيَ اَدْنَى مِنَ اْلقِرَاءَةِ اْلاُوْلىَ. ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوْعًا طَوِيْلاً هُوَ اَدْنَى مِنَ الرُّكُوْعِ اْلاَوَّلِ. ثُمَّ قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ. ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ فَعَلَ فِى الرَّكْعَةِ اْلاُخْرَى مِثْلَ ذلِكَ حَتَّى اسْتَكْمَلَ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَ اَرْبَعَ سَجَدَاتٍ. وَ انْجَلَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ اَنْ يَنْصَرِفَ. ثُمَّ قَامَ فَخَطَبَ النَّاسَ. فَأَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ اَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: اِنَّ الشَّمْسَ وَ اْلقَمَرَ ايَتَانِ مِنْ ايَاتِ اللهِ. لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ اَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَاِذَا رَأَيْتُمُوْهَا فَافْزَعُوْا لِلصَّلاَةِ. متفق عليه، و اللفظ لمسلم 2: 619
Dari 'Aisyah istri Nabi SAW, ia berkata : "Sesungguhnya telah terjadi gerhana matahari dimasa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW pergi ke masjid. Kemudian beliau berdiri dan bertakbir dan orang-orang bershaf di belakang beliau. Dalam shalat tersebut Rasulullah SAW membaca bacaan yang panjang. Kemudian beliau bertakbir dan ruku' dengan ruku' yang panjang pula. Kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil membaca "Sami'alloohu liman hamidah, robbanaa wa lakal hamdu". Lalu beliau membaca lagi bacaan yang panjang, tetapi lebih pendek dari pada bacaan yang pertama. Sesudah itu beliau bertakbir lalu ruku' dengan ruku' yang panjang, tetapi lebih pendek dari pada ruku' yang pertama tadi. Kemudian beliau membaca (sambil berdiri) "Sami'alloohu liman hamidah, robbanaa wa lakal hamdu". Sesudah itu beliau sujud. Kemudian beliau melaksanakan pada raka'at yang kedua sedemikian itu pula, sehingga genap empat kali ruku' dan empat kali sujud, sedang matahari pun muncul kembali sebelum beliau selesai (shalat). Setelah itu Rasulullah SAW berkhutbah, memuji Allah SWT dengan pujian-pujian-Nya, kemudian beliau bersabda : "Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Dua-duanya tidaklah gerhana karena mati atau lahirnya seseorang. Apabila kamu sekalian melihat yang demikian itu maka segeralah untuk melaksanakan shalat". [HR. Muttafaq 'Alaih, dan lafadh ini bagi Muslim 2 : 619]

عَنْ اَبِى مُوْسَى قَالَ: خَشَفَتِ الشَّمْسُ فَقَامَ النَّبِيُّ ص فَزِعًا يَخْشَى اَنْ تَكُوْنَ السَّاعَةُ. فَاَتَى اْلمَسْجِدَ فَصَلَّى بِاَطْوَلِ قِيَامٍ وَ رُكُوْعٍ وَ سُجُوْدٍ مَا رَأَيْتُهُ قَطُّ يَفْعَلُهُ وَ قَالَ: هذِهِ اْلآيَاتُ الَّتِى يُرْسِلُ اللهُ لاَ تَكُوْنُ لِمَوْتِ اَحَدٍ وَ لاَ لِحَيَاتِهِ وَ لكِنْ يُخَوّفُ اللهُ بِهَا عِبَادَهُ. فَاِذَا رَاَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذلِكَ فَافْزَعُوْا اِلَى ذِكْرِهِ وَ دُعَاءِهِ وَ اسْتِغْفَارِهِ. البخارى فى فتح البارى 2: 634
Dari Abu Musa, ia berkata : Telah terjadi gerhana matahari, maka Nabi SAW bangkit ketakutan, khawatir kalau terjadi qiyamat. Kemudian beliau datang ke masjid, lalu shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang sangat lama yang sama sekali aku belum pernah melihat beliau mengerjakan seperti itu. Kemudian beliau bersabda, “Ayat-ayat (gerhana) yang Allah kirimkan ini bukanlah terjadi karena matinya seseorang dan tidak pula karena hidupnya (lahirnya) seseorang. Akan tetapi Allah memberi peringatan kepada hamba-hamba-Nya (agar takut kepada siksa-Nya). Apabila kalian melihat sesuatu yang demikian itu maka segeralah ingat kepada-Nya, berdoa kepada-Nya dan mohon ampun kepada-Nya”. [HR. Bukhari dalam Fathul Baari juz 2, hal. 634]

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص فِى يَوْمٍ شَدِيْدِ اْلحَرّ، فَصَلَّى رَسُوْلُ اللهِ ص بِاَصْحَابِهِ. فَاَطَالَ اْلقِيَامَ حَتَّى جَعَلُوْا يَخِرُّوْنَ. ثُمَّ رَكَعَ فَاَطَالَ ثُمَّ رَفَعَ فَاَطَالَ ثُمَّ رَكَعَ فَاَطَالَ ثُمَّ رَفَعَ فَاَطَالَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ. ثُمَّ قَامَ فَصَنَعَ نَحْوًا مِنْ ذَاكَ. فَكَانَتْ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَ اَرْبَعَ سَجَدَاتٍ، ثُمَّ قَالَ: اِنَّهُ عُرِضَ عَلَيَّ كُلُّ شَيْءٍ تُوْلَجُوْنَهُ فَعُرِضَتْ عَلَيَّ اْلجَنَّةُ حَتَّى لَوْ تَنَاوَلْتُ مِنْهَا قِطْفًا اَخَذْتُهُ (اَوْ قَالَ: تَنَاوَلْتُ مِنْهَا قِطْفًا) فَقَصُرَتْ يَدِى عَنْهُ. وَ عُرِضَتْ عَلَيَّ النَّارُ فَرَأَيْتُ فِيْهَا امْرَأَةً مِنْ بَنِى اِسْرَائِيْلَ تُعَذَّبُ فِى هِرَّةٍ لَهَا رَبَطَتْهَا فَلَمْ تُطْعِمْهَا وَ لَمْ تَدَعْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ اْلاَرْضِ. وَ رَأَيْتُ اَبَا ثُمَامَةَ عَمْرَو بْنَ مَالِكٍ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِى النَّارِ. وَ اِنَّهُمْ كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ: اِنَّ الشَّمْسَ وَ اْلقَمَرَ لاَ يَخْسِفَانِ اِلاَّ لِمَوْتِ عَظِيْمٍ. وَ اِنَّهُمَا ايَتَانِ مِنْ ايَاتِ اللهِ يُرِيْكُمُوْهُمَا. فَاِذَا خَسَفَا فَصَلُّوْا حَتَّى تَنْجَلِيَ. مسلم 2: 622
Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata : Pernah gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW di suatu hari yang sangat panas. Lalu Rasulullah SAW mengerjakan shalat bersama para shahabat. Beliau berdiri lama sekali, sehingga banyak yang jatuh. Kemudian beliau ruku’ lama, lalu bangun dan berdiri lama, lalu ruku’ lama, kemudian bangun dan berdiri lama, kemudian sujud dua kali. Kemudian beliau berdiri dan melakukan seperti itu sehingga shalatnya mengandung empat ruku’ dan empat kali sujud. Setelah itu beliau bersabda, “Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku segala sesuatu yang akan kalian masuki. Diperlihatkan surga kepadaku, sehingga aku mengulurkan tangan akan mengambil petikan (buah) surga itu, tetapi tanganku tidak dapat mencapainya. Diperlihatkan pula kepadaku neraka. Aku melihat di dalamnya ada seorang perempuan Bani Israil yang disiksa sebab kucingnya, dia mengikat kucing itu tanpa memberinya makan dan tidak pula membiarkannya untuk makan serangga tanah. Aku juga melihat Abu Tsumamah ‘Amr bin Malik menarik ususnya di neraka”. Orang-orang berkata, “Sesungguhnya matahari dan bulan tidaklah gerhana melainkan karena meninggalnya orang yang agung”. Padahal, sebenarnya keduanya adalah dua tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah yang Dia tunjukkan kepada kalian. Karena itu, apabila keduanya gerhana, maka lakukanlah shalat hingga muncul kembali”. [HR. Muslim 2 : 622]

Keterangan :
Abu Tsumaamah ‘Amr bin Maalik, dalam riwayat lain disebut Ibnu Luhaiy (Luhaiy = nama laqobnya Maalik), dan dalam riwayat lain disebut ‘Amr bin ‘Aamir Al-Khuza’iy, adalah orang yang mula-mula mengada-adakan tentang Saaibah, Bahiirah dan Haam (sebagaimana tersebut dalam QS. Al-Maaidah : 103).

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رض قَالَ: لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص نُوْدِيَ اَنِ الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ. البخارى 2: 25
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr RA, ia berkata : Ketika terjadi gerhana matahari pada jaman Rasulullah SAW, diseru dengan panggilan,”Ash-sholaatu jaami’ah”. [HR. Bukhari juz 2, hal. 25]

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص جَهَرَ فِى صَلاَةِ اْلخُسُوْفِ بِقِرَاءَتِهِ فَصَلَّى اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِى رَكْعَتَيْنِ وَ اَرْبَعَ سَجَدَاتٍ. مسلم 2: 620
Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi SAW membaca jahr dalam shalat gerhana dan beliau shalat dengan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka'at. [HR. Muslim 2 : 620]

Anjuran memerdekakan budak, bersadaqah, istighfar, dzikir dan shalat ketika terjadi gerhana

عَنْ اَسْمَاءَ قَالَتْ: لَقَدْ اَمَرَ النَّبِيُّ ص بِاْلعَتَاقَةِ فِى كُسُوْفِ الشَّمْسِ. البخارى 2: 29
Dari Asma’ (binti Abu Bakar), ia berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW memerintahkan untuk memerdekakan budak ketika terjadi gerhana matahari”. [HR. Bukhari juz 2, hal : 29]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى عَهْدِ رَسُوْل اللهِ ص: فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُصَلّى … ثُمَّ قَالَ: اِنَّ الشَّمْسَ وَ اْلقَمَرَ مِنْ ايَاتِ اللهِ، وَ اِنَّهُمَا لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ اَحَدٍ وَ لاَ لِحَيَاتِهِ. فَاِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَكَبّرُوْا وَ ادْعُوا اللهَ وَ صَلُّوْا و تَصَدَّقُوْا. مسلم 2: 618
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Telah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW. Kemudian beliau berdiri untuk shalat (gerhana) ….., kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan itu diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka apabila kalian melihat yang demikian itu, bertakbirlah, berdo’alah kepada Allah, shalatlah dan bersedekahlah”. [HR. Muslim juz 2, hal. : 618]

عَنْ اَبِى مُوْسَى قَالَ: خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِيّ ص. فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى اَنْ تَكُوْنَ السَّاعَةُ حَتَّى اَتَى اْلمَسْجِدَ. فَقَامَ يُصَلّى بِاَطْوَلِ قِيَامٍ وَ رُكُوْعٍ وَ سُجُوْدٍ. مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ. ثُمَّ قَالَ: اِنَّ هذِهِ اْلايتِ الَّتِى يُرْسلُ اللهُ لاَ تَكُوْنُ لِمَوْتِ اَحَدٍ وَ لاَ لِحَيَاتِهِ وَلكِنَّ اللهَ يُرْسِلُهَا يُخَوّفُ بِهَا عِبَادَهُ. فَاِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوْا اِلىَ ذِكْرِهِ وَ دُعَائِهِ وَ اسْتِغْفَارِهِ. مسلم 2: 628
Dari Abu Musa, ia berkata : Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi SAW, lalu Nabi SAW bangkit, terkejut dan takut kalau terjadi hari qiyamat. Lalu beliau pergi ke masjid, lalu shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang sangat lama, yang saya belum pernah melihatnya sama sekali beliau mengerjakan yang seperti itu. Kemudian beliau bersabda, Sesungguhnya tanda-tanda kekuasaan Allah yang Allah kirimkan ini tidak terjadi karena matinya seseorang dan tidak pula karena lahirnya seseorang, akan tetapi Allah mengirimkannya agar hamba-hamba-Nya takut kepada-Nya. Apabila kalian melihat kejadian yang demikian itu, maka berlindunglah kepada Allah dengan berdzikir, berdoa dan mohon ampun kepada-Nya”. [HR. Muslim juz 2, hal. : 628]

عَنِ اْلمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: اِنْكَسَفَتِ الشَّمْسُ يَوْمَ مَاتَ اِبْرَاهِيْمُ، فَقَالَ النَّاسُ: اِنْكَسَفَتْ لِمَوْتِ اِبْرَاهِيْمَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ الشَّمْسَ وَ اْلقَمَرَ ايَتَانِ مِنْ ايَاتِ اللهِ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ اَحَدٍ وَ لاَ لِحَيَاتِهِ، فَاِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَادْعُوا اللهَ وَ صَلُّوْا حَتَّى يَنْجَلِيَ. البخارى 2: 30
Dari Mughirah bin Syu’bah, ia berkata : Pernah terjadi gerhana matahari (di masa Rasulullah SAW), pada hari meninggalnya Ibrahim (putra Rasulullah SAW), lalu orang-orang mengatakan, “Matahari ini gerhana karena meninggalnya Ibrahim”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, tidak terjadi gerhana karena mati atau lahirnya seseorang. Maka apabila kalian melihat keduanya, berdoalah kepada Allah dan shalatlah, hingga pulih kembali”. [HR. Bukhari juz 2 : 30]

Idul fitri dan Adha

Daftar Isi:
a.    Sejarah Hari Raya
b.    Hal-hal yang Disunnahan pada Hari Raya
c.    Hikmah Disyariatkannya Shalat Hari Raya

d.    Tata Cara Shalat Idul Fitri
e.    Tata Cara Shalat Idul Adha
f.    Khutbah Idul Fithri dan Adha

a.    Sejarah Hari Raya
Sebelum Islam mengalami kejayaan, tradisi orang Arab pada saat merayakan hari rayanya lain dengan cara umat Islam. Mereka bersenang-senang dengan berfoya-foya sehingga tradisi tersebut menjamur sampai mereka masuk Islam. Diantara hari raya yang mereka rayakan adalah hari raya Nairuz dan Mihron. Kemudian pada saat Baginda Nabi Muhammad Saw. datang di Madinah, beliau Saw. menjumpai kaum Anshar yang sedang merayakan hari rayanya dengan model seperti di atas. Lalu Nabi Saw. bertanya: “Hari apakah ini?”

Mereka menjawab: “Ini adalah hari raya yang biasa kami buat hiburan pada saat zaman jahiliyah.”

Kemudian Nabi Saw. bersabda:

قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ اْلفِطْرِ

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan keduanya dengan hari yang lebih baik, yaitu hari raya Idul Adha (Qurban) dan hari raya Idul Fitri.”

b.    Hal-hal yang Disunnahan pada Hari Raya
Hal-hal yang disunahkan pada hari raya adalah:

1)    Membaca takbir. Dimulai pada saat terbenamnya matahari pada malam hari raya sampai imam akan mengerjakan shalat hari raya.

Takbir dibagi menjadi 2 macam; Takbir Mursal, yakni takbir yang tidak disunnahkan dibaca setelah shalat, seperti halnya takbiran pada hari raya Idul Fitri. Kedua adalah Takbir Muqayyad, yakni takbir yang disunnahkan untuk dibaca setelah shalat, seperti halnya takbiran pada hari raya Idul Adha yang waktunya dimulai waktu Shubuhnya bulan Arafah sampai Ashar yang terakhir hari tasyriq.

Takbiran ini disunnahkan setelah shalat fardhu, baik ada’ atau qadha, setelah shalat sunnah Rawatib, sunnah Mutlak, sunnah Tahiyyatul Masjid, sunnah Wudhu dan shalat Jenazah. Adapun bacaan takbirnya sebagai berikut:

اَللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ لاَاِلَهَ اِلاَّالله وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ و لِلَّهِ اْلحَمْدُ .اَللهُ أَكْبَرْكَبِيَرًا وَاْلحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً .لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَلاَنَعْبُدُ إِلاَّ إِياَّهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْن وَلَوْ كَرِهَ الْكاَفِروْنَ وَلَوْ كَرِهَ اْلمُشْرِكُوْنَ وَلَوْ كَرِهَ اْلمُنَافِقُوْنَ .لاَاِلَهَ اِلاَّوَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَاَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلاَحْزَابَ وَحْدَهُ .لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ لِلَّهِ اْلحَمْدُ

2)    Mengisi malam hari raya dengan memperbanyak beribadah. Minimal melakukan shalat Isya berjamaah dan berkeinginan melakukan shalat Shubuh secara berjamaah. Sesuai dengan sabda Nabi Saw.:

مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ اْلعِيْدِ أَحْيَا اللهُ قَلْبَهُ يَوْمَ تَمُوْتُ اْلقُلُوْبُ.

“Barangsiapa yang mengisi malam hari raya dengan memperbanyak ibadah maka Allah akan menghidupkan hatinya disaat semua hati manusia mati.”

Ulama salaf punya metode lain, yaitu melakuan shalat sunnah Mutlak. Adapun tata caranya sebagai berikut:
a.    Membaca niat:

أُصَلىِّ سُنَّةً لِإِحْياَءِ لَيْلَةَ عِيْدِ اْلفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

b.    Melakukan shalat 2 rakaat. Rakaat pertama membaca surat al-Fatihah dan al-Falaq masing-masing 15 kali. Dan rakaat kedua membaca surat al-Fatihah dan an-Nas masing-masing 15 kali.
c.    Setelah salam membaca wirid: Ayat Kursi 13 kali, istighfar 15 kali, shalawat 15 kali, dzikir 15 kali dan ditutup dengan doa.

3)    Mandi. Meskipun tidak punya tujuan untuk menghadiri shalat hari raya. Waktunya mulai pertengahan malam sampai terbenamnya matahari pada hari raya. Namun yang lebih utama adalah mandi dilakukan setelah shalat sunnah Fajar. Adapun niatnya mandi sebagai berikut:

نَوَيْتُ اْلغُسْلَ لِدُخُوْلِ يَوْمِ عِيْدِ اْلفِطْرِ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى.

Sebelum melakukan shalat hari raya, yang lebih utama adalah makan kurma yang jumlahnya ganjil.
4)    Berangkat pagi-pagi. Bagi selain imam disunnahkan berangkat dini hari setelah shalat Shubuh. Sedangkan bagi imam disunnahkan berangkat pada saat masuknya waktu shalat.
5)    Memakai wangi-wangian dan pakaian yang bagus, warna hijau atau putih.
6)    Berangkat berjalan kaki dengan keadaan tenang melalui jalan yang jauh, dan ketika pulang melalui jalan yang lebih pendek.
7)    Bagi selain imam dianjurkan melakukan shalat sunnah Qabliyyah jika tidak mendengarkan khutbah. Sedangkan bagi imam hukumnya makruh melakukan shalat sunnah Qabliyyah dan Ba’diyyah hari raya.
8)    Mencukur rambut, memotong kuku dan menghilangkan bau yang tidak sedap.
9)    Melakukan shalat sunnah Idul Fitri.
10)    Melakukan khutbah Idul Fitri.
11)    Saling memberi penghormatan antara satu dengan yang lainnya seperti mengucapkan “Taqabbalalallahu minna waminkum”.
12)    Berjabat tangan dengan sesama jenis atau beda jenis yang semahram. Klasifikasi hukum berjabatan tangan sebagai berikut: 1) Haram berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang tidak semahram serta tidak menggunakan penghalang, begitupula dengan amrad yang tampan. 2) Makruh berjabat tangan dengan orang yang punya penyakit menular. 3) Makruh berangkulan kecuali dengan orang yang baru datang dari bepergian. 4) Sunnah mengecup tangannya orang yang shaleh, alim dan zuhud. 5) Makruh mengecup tangannya orang lain karena kekayaannya.
13)    Melakukan puasa 6 hari. Puasa ini boleh dilakukan dengan berbagai macam cara, baik dilakukan secara berurutan dan bersambung atau tidak. Tetapi yang lebih utama dilakukan secara berurutan. Kesunnahan puasa ini juga bisa didapat dengan melakukan puasa qadha atau nadzar. Jika puasa ini dilakukan di luar bulan Syawal maka pahalanya tidak sama dengan yang dilakukan pada bulan Syawal, sebab pahala di bulan Syawal laksana melakukan  puasa fardhu setahun penuh sebagaimana bunyi hadits:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالَ كاَ نَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang melakukan puasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka pahalanya seperti puasa setahun penuh.”

Kemudian jika puasa itu dilakukan di luar bulan Syawal maka laksana melakukan puasa sunnah setahun penuh. Adat puasa Syawal yang telah berlaku, yakni puasa 6 hari secara berurutan kemudian ditutup dengan hari raya ketupat, itu hanyalah metode yang diajarkan oleh Wali Songo untuk mempermudah membiasakan dan agar tidak dirasa berat. Sedangkan niatnya berpuasa Sayawal adalah:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ مِنْ يَوْمِ شَهْرِ شَوَّالَ سَنَةٍ للهِ تَعَالَى.

c.    Hikmah Disyariatkannya Shalat Hari Raya
Perlu diketahui bahwa shalat jamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian. Sebab di dalamnya membentuk persatuan dan kesatuan dengan berwujud semua muslim berdiri dalam keadaan berbaris di belakang seorang imam. Sehingga mirip dengan sebuah bangunan yang saling menguatkan, bagian satu menguatkan sebagian lainnya.

Ketika hal itu dirasa belum cukup untuk mewujutkan persatuan dan kesatuan umat Islam, maka disyariatkanlah shalat Jum’at. Kemudian dirasa masih kurang lagi, maka disyariatkanlah shalat hari raya agar rasa persatuan dan kesatuan umat Islam semakin ditingkatkan. Sebab hal ini dapat memberikan manfaat yang sangat besar.

Hikmah lain disyariatkannya shalat hari raya adalah menampakkan kekuatan umat Islam di mata orang kafir. Dan dengannya membentuk suatu sistem kekuasan yang akhirnya dapat menakut-nakuti orang kafir.

d.    Tata Cara Shalat Idul Fitri
Tata cara shalat sunnah hari raya Idul Fitri adalah sebagai berikut

a)    Bilal membaca:

صَلُّوْا سُنَّةً لِعِيْدِ اْلفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ جَمَاعَةُ أَثَابَكُمُ اللهُ .

b)    Jamaah menjawab:

لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.

c)    Membaca niat shalat:

أُصَلِّى سُنَّةً لِعِيْدِ اْلفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ مَأْمُوْمًا / إِمَامًا لِلَّهِ تَعاَلَى. اللهُ أَكْبَرْ

d)    Melakukan shalat 2 rakaat. Rakaat pertama setelah takbiratul ihram membaca takbir (Allahu Akbar) 7 kali, sedangkan rakaat kedua setelah takbir berdiri membaca takbir 5 kali. Rakaat pertama setelah al-Fatihah membaca surat Qaf, sedangkan pada rakaat kedua setelah al-Fatihah membaca surat Iqatarabat as-Sa’ah (al-Qamar). Masing-masing takbir baik yang jumlahnya 7 atau 5 dipisah dengan bacaan:

سُبْحَانَ اللهُ وَاْلحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرْ

Waktu melaksanakan shalat hari raya Idul Fitri adalah setelah matahari terbit dan naik setinggi ujung tombak menurut pandangan mata, atau masuknya waktu Dhuha.



e.
Tata Cara Shalat Idul Adha

a) Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.

b) Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”

c) Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.” Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
Subhanallah wal hamdulillah wa  laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.

d): Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”
Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa)dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.

e) Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).

f) Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.

g) Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.

h) Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

i) Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.

f. Khutbah Setelah Shalat ‘Ied 
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”
Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammembuka khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”
Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”
 
Seusai melaksanakan shalat sunnah Idul Fitri dan Adha berjamaah maka dilaksanakanlkah khutbah. Tata caranya adalah, terlebih dahulu Bilal membacakan:

أَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ اللهُ .أَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا  أَثَابَكُمُ اللهُ .أَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوْا  وَأَطِيْعُوْا لَعَكُّمْ تُرْحَمُوْنَ .اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ . اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ .اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ

Kemudian khatib naik mimbar untuk berkhutbah. Contoh khutbahnya adalah sebagai berikut:

الخطبة الأولى لعيد الفطر

أَللهُ أَكْبَرْ × 9 اَللهُ أَكْبَرْ كُلَّمَا هَلَّ هِلاَلٌ وَأَبْدَرَ. اَللهُ أَكْبَرْ كُلَّمَا صَامَ صَائِمٌ وَأَفْطَرَ. اَللهُ أَكْبَرْ كُلَّمَا تَرَاكَمَ سَحَابٌ وَأَمْطَرَ. كُلَّمَا نَبَتَ نَباَتٌ وَأَزْهَرَ. وَكُلَّمَا أَوْرَقَ عُوْدٌ وَأَثْمَرَ. وَكُلَّمَا أَطْعَمَ اْلقَانِعَ وَاْلمُعْتَرَّ. اَللهُ أَكْبَرْ، اَللهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلاّ َاللهُ وَاللهُ أَكْبَرْ، اللهُ أَكْبَرْ لِلَّهِ اْلحَمْدُ، اْلحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِىْ سَهَّلَ لِلْعِبَادِ طَرِيْقَ اْلعِبَادَةِ وَيَسَّرَ، وَوَفَاهُمْ أُجُوْرَ أَعْمَالِهِمْ مِنْ خَزَائِنِ جُوْدِهِ الَّتِىْ لاَ تُحْصَرُ، وَجَعَلَ لَهُمْ يَوْمَ عِيْدِ يَعُوْدُ عَلَيْهِمْ فِىْ كُلِّ سَنَةٍ وَيَتَكَرَّرُ، وَزَكَّى أَبْدَانَهُمْ مِنْ دَرَنِ السَّيِّئَاتِ وَطَهَّرَ، وَتَابَعَ بَيْنَ اْلأَوْقاَتِ لِكَىْ تُشَيَّدَ بِأَنْوَاعِ اْلعِبَادَةِ وَتُعَمَّرَ، فَمَا مَضَى شَهْرُ الصِّيَامِ إِلاَّ وَأَعْقَبَهُ بِأَشْهُرِ اْلحَجِّ إِلَى بَيْتِهِ اْلعَتِيْقِ اْلمُطَهَّرِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَهُوَ اْلمُسْتَحِقُّ لِأَنْ يُحْمَدَ وَيُشْكَرَ، وَاَشْكُرْهُ عَلَى نِعَمٍ لاَ تُعَدُّ وَلاَ تُحْصَرُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ اْلمُلْكُ اْلعَظِيْمُ اْلأَكْبَرُ، الَّذِىْ جَعَلَ لِكُلِّ شَيْءٍ وَقْتًا وَأَجَلاً وَقَدَرًا، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدَهُ وَرَسُوْلَهُ الشَّافِعَ اْلمُشَفَّعِ فِى اْلمَحْشَرِ، نَبِيٌّ مَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ عَلىَ أَجْمَلٍ مِنْهُ وَجْهًا وَلاَ أَنْوَرَ، نَبِيٌّ أُسْرِيَ بِهِ مِنَ اْلبَيْتِ اْلحَرَامِ إِلَى اْلمَسْجِدِ اْلأَقْصَى وَعَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى كاَنَ لَهُ فَوْق السَّمَوَاتِ مَصْعَدٌ وَمَظْهَرٌ،  نَبِيٌّ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، وَأَعْطَاهُ سِيَادَةَ بَنِيْ أَدَمَ اْلأَسْوَدَ وَاْلأَحْمَرَ، نَبِيٌّ رَجَفَتْ هَيْبَتَهُ قُلُوْبُ اْلجَبَابِرَةِ حَتىَّ أَمَرَ أَمْرُهُ وَأَنَّهُ لَيَخاَفُهُ مَلِكُ بَنِي اْلأَصْفَرِ، نَبِيٌّ غَفَرَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، مَعَ ذَلِكَ قَامَ عَلىَ قَدَمِهِ الشَّرِيْفِ حَتَّى تَفْطُرَ، وَجَاهَدَ فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ فَمَا تَوَانَى وَلا تأخر، أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَخَلِيْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ أَذْهَبَ اللهُ عَنْهُمْ الرِّجْسَ وَطَهَّرَ، اللهُ أَكْبَرْ ، اللهُ أَكْبَرْ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَاللهُ أَكْبَرْ. اللهُ أَكْبَرْ وَ لِلَّهِ اْلحَمْدُ أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ إِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يُسَمَّى يَوْمَ اْلجَوَائِزِ فَيَرْجِعُ فِيْهِ مِنَ اْلمُصَلَّى كُلٌّ بِمَا قُسِمَ لَهُ فَائِزٌ فَاْلمُحْسِنُوْنَ يَجِدُوْنَ فِىْ صِحَافِهِمْ اْلعِزَّ وَاْلكَرَامَةَ وَاْلمُذْنِبُوْنَ يَجِدُوْنَ فِيْهَا اْلخَيْبَةَ وَالنَّدَامَةَ. عَنْ إِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا يَرْفَعُهُ:  إِذَا كاَنَ يَوْمَ عِيْدِ اْلفِطْرِ هَبَطَتِ اْلمَلاَئِكَةِ إِلَى اْلأَرْضِ فِى كُلِّ بَلَدٍ فَيَقِفُوْنَ عَلَى أَفْوَاهٍ السِّكَكِ يُنَادُوْنَ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ جَمِيْعُ مَنْ خَلَقَ اللهُ إِلاَّ اْلجِنَّ وَاْلإِنْس. ياَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ أَخْرَجُوْا اِلَى رَبٍّ كَرِيْمٍ يُعْطِى اْلجَزِيْلَ وَيَغْفِرُ الذَّنْبَ اْلعَظِيْم فَإِذَا بَرَزُوْا إِلَى مُصَلاَّهُمْ قاَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ  : يَا مَلاَئِكَتِىْ مَا جَزَاءَ اْلأَجِيْرِ إِذاَ عَمَلَ عَمَلَهُ فَيَقُوْلُوْنَ إِلَهَناَ وَسَيِّدِناَ أَنْ تُوَفِّيَهُ أَجْرَهُ.

Para hadirin jamaah shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah. Mari kita bertaqwa kepada Allah Swt. dengan sebaik-baik taqwa. Ketahuilah bahwa hari ini disebut sebagai harinya beberapa pemberian. Sehingga pada hari ini setiap orang akan pulang dari masjid dan akan mendapatkan apa yang telah dibagikan oleh Allah. Bagi orang yang berbuat kebajikan akan mendapatkan keagungan dan kemuliaan di catatan amalnya. Dan bagi orang-orang yang berbuat dosa akan menemui penyesalan dan kerugian di catatan amalnya.

Diriwayatkan oleh Ibn Abbas Ra., berupa hadits marfu’, bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Ketika hari raya Fitri para malaikat turun ke bumi di setiap negara. Mereka berdiri di perempatan-perempatan jalan dan selalu memanggil-manggil dengan suara yang bisa didengarkan oleh setiap makhluk, kecuali jin dan manusia, dengan panggilan: “Hai umat Muhammad. Keluarlah kamu kepada Tuhan Yang Mahapemurah lagi Mahamulia. Ia akan memberi dengan pemberian yang agung dan akan memaafkan setiap dosa yang kecil dan yang besar.”

Kemudian ketika orang sudah berkumpul di masjid, Allah berfirman kepada para malaikat: “Hai malaikatKu. Apa balasan bagi orang yang kerja dan telah menyelesaiakan tugasnya?”

Para malaikat menjawab: “ Wahai Tuhanku, sudah semestinya Tuan akan membalas orang-orang tersebut.”

Lalu Allah berfirman lagi: “Saksikanlah wahai malaikatKu, bahwa Aku akan membalas orang-orang yang menyelesaikan puasa dan shalatnya berupa ridha dan pengampunanKu. Kalian semua mintalah kepadaKu. Demi kemuliaan dan keagunganKu, tidak ada permintaan dari kalian semua kepadaKu apa saja untuk akhirat di hari ini kecuali Aku akan mengabulkannya. Dan tidak ada permintaan untuk dunia pada hari ini kecuali akan Aku kabulkan. Pulanglah kalian semua dari masjid, karena kalian telah mendapatkan pengampuanKu, karena kalian semua sudah ridha terhadapKu dan Aku sudah meridhaimu.”

أَعَادَ اللهُ عَلَيْكُمْ مِنْ بَرَكاَتِ هَذَا اْلعِيْدِ وَأَمُنَّنِىْ وَإِيَّاكُمْ مِنْ سَطْوَةِ يَوْمِ اْلوَعِيْدِ وَاللهُ تَعَالَى يَقُوْلُ وَفِى قَوْلِهِ يَهْتَدِىْ اْلمُهْتَدُوْنَ وَإٍذَا قُرِئ َاْلقُرْاَنُ فَسْتَمِعُوْالَهُ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. يَاأَيُّهَاالنَّاسُ إِنَّ وَعْدَاللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ اْلحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَ يَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الْغُرُوْرُ إِنَّ الشَّيْطاَنَ لَكُمْ عُدُوٌ فاَتَّخْذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُوْحِزْبَهُ لِيَكُوْنُوْا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَهُمْ عَذَابٌ .

اْلخُطْبَةُ الثَّانِيَةُ لِعِيْدِ اْلفِطْرِ

اللهُ أَكْبَرُ كُلَّمَا هَطَلَ الْغَمَامُ  وَنَاحَ الْحَمَامُ وَارْتَفَعَتِ الأَعْلاَمُ وَأَفْطَرَ الصُّوَّامُ، اللهُ أَكْبَرُ كُلَّمَا ارْتَقَى فَوْقَ مِنْبَرِ إِمَامٍ. وَكُلَّمَا خُتِمَ بِالأَمْسِ شَهْرُ الصِّيَامِ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ و اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ. الْحَمْدُ للهِ مُعِيْدِ الْجُمَعِ وَالأَعْيادِ. وَمُبِيْدِ الْجُمُوْعِ وَالأَجْنَادِ. رَافِعِ السَّبْعِ الشِّدَادِ عَالِيَةً بِغَيْرِ عِمَادٍ. وَمَادَّ الأَرْضِ وَمُرْسِيْهَا بِالأَطْوَادِ. وَجَامِعِ النَّاسِ لِيَوْمٍ لاَ رَيْبَ فِيْهِ إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الْمِيْعَادَ. أَحْمَدُهُ عَلَى نِعَمٍ لاَ يُحْصَى لَهَا تَعْدَادٌ. وَأَشْكُرُهُ وَكُلَّمَا شُكِرَ زَادَ. وَأَسْأَلُهُ أَنْ يَصْرِفَ عَنَّا الْمُعْضِلاَتِ الشِّدَادَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلاَ أَنْدَادَ. شَهَادَةً صَادِرَةً مِنْ صَمِيْمِ الْفُؤَادِ. أَرْجُوْا بِهَا النَّجَاةَ فِى يَوْمِ التَّنَادِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِى شَرَعَ الشَّرَائِعَ وَسَنَّ الأَعْيَادَ. وَقَرَّرَ قَوَاعِدَ الْمِلَّةِ وَرَفَعَ الْعِمَادَ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْبَرَرَةِ الأَنْجَادِ. الذَّائِذِيْنَ عَنْ شِرْعَتِهِ بِالْمُرْهِفَاتِ الْحِدَادِ. اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ واللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.
)أَمَّا بَعْدُ) فَيآ أَيُّهَا النَّاسُ : اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى وَاعْلَمُوْا أَنَّهُ لَيْسَ السَّعِيْدُ مَنْ أَدْرَكَ الْعِيْدَ، وَلاَ مَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ وَلاَ مَنْ قَادَ الْخَيْلَ الْمُسَوَّمَةَ وَخَدَمَتْهُ الْعَبِيْدُ، وَلاَ مَنْ أَتَتْهُ الدُّنْيَا عَلَى مَا يُرِيْدُ، لَكِنْ وَالهِ  السَّعِيْدُ مَنْ خَافَ يَوْمَ الْوعِيْدِ، وَرَاقَبَ اللهَ فِيْمَا يُبْدِى وَيُعِيْدُ، وَنُجِّىَ مِنْ نَارٍ حَرُّهَا شَدِيْدٌ وَقَعْرُهَا بَعِيْدٌ، وَطَعَامُ أَهْلِهَا الزَّقُّوْمُ، وَشَرَابُهُمُ الْمُهْلُ وَالصَّدِيْدُ، وَلِبَاسُهُمُ الْقَطْرَانُ وَالْحَدِيْدُ وَعَذَابُهُمْ أَبَدًا فِى مَزِيْدٍ، وَفَازَ بِجَنَّةٍ لاَ يَفْنَى نَعِيْمُهَا وَلاَ يَبِيْدُ، فَاتَّقُوْا اللهَ بِامْتِثَالِ أَمْرِهِ الأَكِيْدِ، وَوَحِّدُوْا رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَأَدُّوْا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَصُوْمُوْا شَهْرَكُمْ وَحُجُّوْا بَيْتَ رَبِّكُمْ وَأَطِيْعُوْا ذَا أَمْرِكُمْ هَذَا شَأْنُ الْعَبِيْدِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ الَّذِى عَلِمَ مِنَ الْغَيْبِ مَكْنُوْنَهُ، وَأَنْجَزَ مِنَ الْوَعْدِ مَضْمُوْنَهُ، وَحَتَّمَ بِالْفَنَاءِ عَلَى مَنْ دُوْنَهُ وَاخْتَارَ مُحَمَّدًا أَمِيْنَهُ، وَجَعَلَ الْحَنِيْفِيَّةَ شِرْعَتَهُ وَدِيْنَهُ، أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنىَّ فِيْهِ بِمَلاَئِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَثَلَّثَ بِكُمْ أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ جَلَّ مِنْ قَائِلٍ عَلِيْمًا ﴿ إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِىِّ يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا﴾. وَقَدْ قَالَ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ:مَنْ صَلَّى عَلَيَّ  صَلاَةً وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا . اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى النَّبِىِّ الْهَاشِمِىِّ الأَوْفَى، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ أَصْحَابِهِ السَّادَةِ الْحُنَفَا، وَخُصَّ مِنْهُمُ الأَرْبَعَةَ الْخُلَفَا، ذَوِى الْفَضْلِ الْجَلِىِّ وَالْقَدْرِ الْعَلِىِّ أَبَابَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِىَّ وَعَنِ السِّتَّةِ الْبَاقِيْنَ مِنَ الْعَشْرَةِ، وَعَنْ جَمِيْعِ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا نَبِيَّكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ. اللَّهُمَّ وَارْضَ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَعَنْ أُمِّهِمَا الْبَتُوْلِ فَاطِمَةَ بِنْتِ الرَّسُوْلِ. اللَّهُمَّ وَارْضَ عَنِ الطَّاهِرَةِ الْمُطَهَّرَاتِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ زَوْجَاتِ نَبِيِّنَا الصَّادِقِ الأَمِيْنِ. اللَّهُمَّ وَارْضَ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَاقْتَفَى، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَرَحْمَتِكَ يَا أَكْرَمَ مَنْ تَجَاوَزَ وَعَفَا. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَاحْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنِ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا رَخَاءً سَخَاءً وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ. اللَّهُمَّ آمِنَّا فِى دُوْرِنَا وَأَصْلِحْ أُوْلاَةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلِ اللَّهُمَّ وِلاَيَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللَّهُمَّ أَقِمْ عَلَمَ الْجِهَادِ. وَاقْمَعْ أَهْلَ الشِّرْكِ وَالْفَسَادِ وَالْعِنَادِ، وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ عَلَى الْعِبَادِ، يَا مَنْ لَهُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةُ وَإِلَيْهِ الْمَعَادِ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ. اللَّهُمَّ نَوِّرْ عَلَى أَهْلِ الْقُبُوْرِ قُبُوْرَهُمْ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلأَحْيَاءِ وَيَسِّرْ لَهُمْ أُمُوْرَهُمْ. اللَّهُمَّ تُبْ عَلَى التَّائِبِيْنَ، وَاغْفِرْ ذُنُوْبَ الْمُذْنِبِيْنَ، وَاقْضِ الدَّيْنَ عَنِ الْمَدِيْنِيْنَ، وَاشْفِ مَرْضَى الْمُسْلِمِيْنَ، وَاكْتُبِ الصِّحَّةَ وَالْعَافِيَةَ وَالسَّلاَمَةَ وَالتَّوْفِيْقَ وَالْهِدَايَةَ لَنَا وَلِكَافَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ، فِى بَرِّكَ وَبَحْرِكَ أَجْمَعِيْنَ. اللَّهُمَّ ارْفَعْ عَنَّا الْغَلاَ وَالرِّبَا وَالْوَبَى وَالزِّنَى وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ، ﴿ رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارَ﴾. عِبَادَ اللهِ، ﴿ إِنَّ الله َيَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِىْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. وَأَوْفُوْا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوْا الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللهُ عَلَيْكُمْ كَفِيْلاً إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ﴾. وَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ الْجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، ﴿ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ وَالله ُيَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ﴾

(Referensi: Asy-Syarqawi, I’anat ath-Thalibin, Tanwir al-Qulub, Bujairami ‘ala al-Khathib, Hasyiyat al-Jamal, Nihayat az-Zain, al-Munasabah li as-Sayyid Muhammad al-Maliki, al-Adzkar an-Nawawi, Kitab Primbon Syaikh Sholeh Darat dan Durrat an-Nashihin).